Sunday, March 25, 2012

Semua baik adanya.

Ini tentang obrolan saya dengan ibu saya tadi.
Ibu saya udah lama nggak nginep di rumah karena berbagai kesibukan, dan salah satunya yang cukup menyita waktunya sekarang adalah menjaga nenek saya (dari pihak bapak) yang sedang dirawat di rumah setelah operasi menyambung tulang pinggulnya yang patah.
Saya bilang ke ibu, bahwa ada seseorang yang nanyain kenapa ibu udah lama nggak nginep di rumah saya. Ya saya bilang alasannya salah satunya karena alasan di atas itu. Trus yang bertanya itu nambahin, emangnya bapak kamu saudara berapa orang sih? Saya jawab: dua. Nah kemudian berlanjut lagi deh dengan komentar: "susah juga yang kalau anak cuma dua." err... saya merasa tersindir karena saya dan suami memang berencana punya anak dua saja, dan dia tahu itu. Sementara yang bertanya ini anaknya tiga. Tentu saya nggak terima, karena bingung susahnya dimana? Bukannya malah enak nggak kebanyakan anak di jaman serba mahal ini? Tentu saya nanya dong dan jawaban dia, ya karena kalo cuma dua sedikit yang diajak berbagi tanggung jawab ngurus orang tua. Ehm, karena saya tidak setuju sayapun menjawab: "ah yang anaknya banyak juga belum tentu ada yang ngurus. Kalo semuanya memilih merantau, ya tetep aja sendirian kan ortunya?" Dan seperti biasa, diapun tak mau kalah,"tapi tetap aja lebih mending, karena ada pilihan." Berhubung saya tahu kalau berbicara dengan dia tak akan ada habisnya sayapun akhirnya berkata "seperti kata Ajahn Bhram, All is well. Anak satu,dua,tiga,sepuluh,tak ada anakpun, semua bagus". Hasilnya?? Dia mingkem. Ya karena saya bukan siapa-siapa saya merasa perlu mengutip kata-kata seorang bikhu. Karena siapa sih saya ini, orang nggak penting, orang bodo.
Mendengar cerita saya itu, Ibu saya cuma ketawa,trus cerita kalo sehari sebelumnya saat dia ke pasar untuk belanja persiapan Nyepi ketemu dengan penjual canang (sesajen yang berisi bunga-bungaan) yang sudah tua berbadan bungkuk. Dan kebetulan dia mendengar si ibu tua itu sedang bercerita dengan pedagang di sebelahnya. Bahwa dia sudah berangkat dari rumah sejak pukul tiga pagi, walaupun kondisi hujan deras. Kata dia, kalo dia ngga ke pasar dia udah telanjur buat canangnya dan dia nggak ada bekal buat persiapan Nyepi. "Loh, memangnya ibu nggak ada anak? kok sampe nggak ada yang ngasi bekel nyepi?" Dan jawab si ibu itu, "ada... anak saya 4." Heeee, kata ibu saya semua orang jadi noleh. Loh anaknya empat tapi kok ibunya masih mesti jualan di pagi buta di tengah hujan deras??? Emangnya anak-anaknya kemana??? Si ibu tua itu bilang, "anak-anak saya nggak ada yang peduli sama saya." Nah tuh, bagaimana dong kalo begini? Anak empat ya tetep aja orang tuanya nggak keurus. Kata ibu saya,"Nggak berperasaan ya anak-anaknya."
Hmmm saya lalu jadi mikir. Tapi mikirnya malah, memangnya apa yang sudah dilakukan si ibu ini sampai semua anaknya tidak ada yang peduli pada dia? Walaupun memang semestinya dan yang sewajarnya adalah kewajiban anak tetap sayang dan memperhatikan orang tuanya walau bagaimanapun dia. Saya merasa kalau kita nggak bisa dan nggak boleh menghakimi orang lain hanya berdasarkan sepotong kejadian atau sepenggal pembicaraan yang tentu amat sangat tidak mewakili kondisi keseluruhan. Lalu saya sampaikan pemikiran saya itu ke ibu dan mencontohkan kondisi tetangga ibu saya yang mana si ibu nggak memperhatikan anak-anaknya, anaknya ngurus diri sendiri. Nggak pernah memeluk dan mencium anaknya, yang ada hanya memarahi dan memaki bahkan dengan kata-kata yang tidak sepantasnya disebutkan oleh seorang ibu kepada anak darah dagingnya. Dengan sok bijak saya bilang, "mungkin saja kan kejadian yang dialami si ibu tua itu sama dengan si tante A yang tetangga ibu. Kita nggak bisa langsung menghakimi anaknya ,Bu. Semua akibat pasti ada sebabnya. Entah sebab di kehidupan sekarang atau dikehidupan kita terdahulu" Ibu saya manggut-manggut tapi masih menerawang. Lalu saya lanjutkan, tapi bagaimanapun ya memang gak boleh kita balik jahat sama orang tua kita kan bu..??". IYA, jawab ibu saya mantap hehehe.
Bagi saya pribadi, menjadikan jumlah anak sebagai tolok ukur kebahagiaan orang tua sekarang dan nanti, sama konyolnya dengan mengukur kebahagiaan dengan anak perempuan atau lelaki yang dimiliki sebuah keluarga. Bahkan kadang ada yang lebih konyol lagi, lebih enak mana punya anak perempuan duluan atau laki-laki duluan. #sigh
Ah pembicaraan yang sangat bermakna dengan Ibu saya hari ini.
Love you Ibu. Semoga saya bisa memberi makna bagi kehidupan ibu ya, meski saya tahu hutang saya tak kan pernah terbalas. Tapi mohon berikan doa ibu untuk saya, semoga setidaknya saya mampu membayarnya walau mungkin hanya seujung kuku. Dan saya akan selalu menjalani seperti itu, menyayangi Ibu sepenuh hati.

No comments: