Friday, April 19, 2013

Berceritalah kepada kami, dan kami siap mendengarkan.





Mama, liat ma Bodhi lagi main jadi Luke Skywalker...
Mama, mau minum teh? Citta buatin teh? Pake biskuit? Ini biskuitnya, makasi sama-sama.... *sambil nyodorin gelas plastik mainannya.

Setiap dua menit, hmm mungkin setiap menit. Mama....begini, mama begitu..., mama kenapa begini..., mama....koko iseng!, mama....Citta ambil mainan Bodhi....

Disaat sedang bisa nemenin main, ya gak apa-apa, seru, lucu. Tapi pas sedang sibuk dengan kerjaan lain, ataupun sekedar ingin membaca satu berita, rasanya haiyaaaa jangan sebentar-sebentar mama, sebentar mama... kan ada papa ituuu yang bisa diajak cerita juga. Atau kalau pas papa sedang nggak ada, palingan saya menggerutu, haduuuh kasi mama baca sebentar kenapa siiih, atau mama masih ngerjain ini bentarrrr lagi ya.... jangan dikit-dikit ngajak mama ngobrol dong.

Tapi begitu belakangan ini saya sering membaca update-an status di media sosial yang sedikit-sedikit curhat, sedikit-sedikit ngomel, sedikit-sedikit meratap-ratap sebagai orang paling menderita sedunia. Mengharap komentar atau tanggapan atau setidaknya like status-nya (di-like berarti setuju kan ya dengan yang ditulis di status), saya jadi berpikir kenapa harus membagi masalahnya di media sosial? Tidak ada teman bercerita yang nyata? Setidaknya bisa di lingkup yang lebih kecil? Walaupun mungkin berceritanya lewat messanger (ya mungkin karena memang orang yang dianggap dekat dan dipercaya tidak selalu ada di samping atau bisa bertatap muka), setidaknya tidak terlalu banyak orang yang tidak berkepentingan yang tahu tentang masalah kita. Karena saya melihat, nggak jarang statusnya karena kesal dengan orang2 terdekatnya. Misal, suami, orang tua, saudara, teman dekat.

Sayapun bukan orang yang bebas dari rasa kesal, sedih. Pengen rasanya memang mengeluarkan uneg-uneg di timeline social media. Tapi ketika baru berpikir seperti itu, ada perasaan lain yang membuat saya berpikir ulang untuk menuliskannya. Bahkan ketika kesal dengan sikap customer/client, walaupun rasanya sudah ingin meracau di timeline, tapi selalu ada yang menahan. Saya juga nggak ngerti perasaan apa ya namanya itu, tapi dia menahan saya supaya berpikir ulang. Karena dia mengatakan, semua itu nggak kekal. Sekarang kamu benci, sebentar lagi kamu nggak tahu ternyata orang itu  bisa melakukan sesuatu yang malah menolong kamu. Atau sekarang kamu senaaaang sekali, ingin memuja-memuji orang itu tapi kamu nggak tahu dalam hitungan menit orang itu yang akan membuat kamu sakit hati. Apalagi mau mengomel tentang orang yang dekat dengan saya, walaupun dengan bahasa yang paling halus sekalipun, dengan kata-kata bersayap, saya sudah takut duluan dengan opini orang. Bukan...bukan pencitraan sebagai orang baik yang tidak pernah punya masalah atau tidak pernah merasa kesal, saya takut bahasa tulisan yang hanya sepotong itu menimbulkan multitafsir. Jika baik, mungkin tidak apa-apa, jika penafsiran salah, bukan lega yang saya rasakan setelah menuliskan uneg-uneg tapi malah makin memperparah masalah saya, setidaknya masalah berperang dengan pikiran saya sendiri. Walau bagaimanapun, orang itu orang yang dekat dengan saya,maka saya pasti, PASTI sedih kalau sampai ada yang berpikiran buruk apalagi sampai mengatai-ngatai orang bersangkutan hanya demi ingin membela saya atau menyenangkan hati saya yang sedang galau sampai harus menuliskan status semacam omelan, keluhan atau ratapan.

Oh ya jadi apa dong hubungannnya dengan kebawelan anak-anak saya, juga hubungannya dengan foto di baris paling atas tulisan ini?

Kenyataan yang saya lihat di social media itu, membuat saya berpikir ulang sebelum menggerutu karena waktu pribadi dan 'gaya bicara' saya seakan-akan direbut anak-anak saya. Saya berpikir kembali, kalau bukan dengan orang tuanya -mama papanya- mereka bercerita, lalu mau cerita sama siapa? Seharusnya bagus dong mereka mau berbagi dengan kami orangtuanya, kalau mereka introvert saya jadinya lebih repot lagi. Apalagi kalo introvertnya sama saya tapi mengumbar cerita di belakang, semisal di media sosial itu. Nah kalo dari mereka kecil mereka udah ngerasa saya nggak mau mendengarkan mereka, saya takut akan terbawa-bawa sampai mereka ABG dan dewasa nanti. Okelah kalau setelah dewasa mereka memang sudah saatnya dan berhak menentukan sikap, berhak untuk tidak menceritakan semua kejadian dalam hidupnya kepada kami orang tuanya, tapi setidaknya ketika mereka berbeda pendapat dengan kami atau ada yang tidak mereka setujui dari sikap kami, mereka mau membicarakannya dengan kami orangtuanya langsung. Orangtua tidak seratus persen benar, tidak sempurna juga sebagai manusia, apalagi makin tua ya biasanya kan makin cerewet (eh sekarang juga udah cerewet sih, padahal masih muda #hmmmm) Jadi, akan menyenangkan jika mereka mau mendiskusikan langsung dengan kami, tidak diam seolah semua baik-baik saja hanya demi menjaga sopan santun, atau malah ketika ada masalah langsung pergi dan tidak mau berkunjung atau melihat kami lagi (amit-amit). Atau....menuliskan kejengkelannya di timeline social media. Walaupun mungkin menuliskannya dengan halus, mengutip kata-kata dari kitab suci segala (ini biasanya untuk yang udah gede), bahkan saya pernah melihat teman saya posting status ABG yang jadi friend dia, yang memaki-maki ibunya karena tidak diberi uang sesuai yang dia minta. Haduh amit-amit, saya bisa mati berdiri kali ya :((

Nah kalau yang di foto itu, gayanya Bodhi atau Citta kalau mereka punya 'secret' yang mau diceritakan ke mama. Biasanya mereka akan bilang begini, "Mama, i have a secret..." trus deketin kuping saya dan was wes wos was wes wos (iya beneran was wes wos bisik-bisik tapi nggak jelas ngomongnya apa), nah cerita jelasnya itu diceritakan dengan volume normal, hahaha jadi bukan rahasia lagi dong ya.

Jadi pengharapan saya ke anak-anak, berarti tanggung jawab juga buat saya dan suami di saat sekarang: untuk mau menjadi pendengar, bisa memberi komentar jika memang diminta, bersedia mendampingi mereka dalam setiap peristiwa yang meraka alami. Saya percaya saat ini yang akan menentukan kejadian nanti. Harus bisa ya :)